BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kecenderungan kehidupan yang berlatar belakang falsafah
kapitalisme bukan saja menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah
materialistic-hedonistic tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan
dalam masyarakat. Kehidupan manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan
keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada lagi harapan dan cinta dalam kehidupan
seharian. Berdasarkan hal ini, modernisme dilihat gagal memberikan kehidupan
yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia, sehingga keadaan ini telah
menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah spiritualisme Muslim, terlihat
bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spiritual para sufi.
Ini karena jalan itu dirasakan amat releven dengan kehidupan. Dalam suasana
transendensi, seorang sufi mengalami suasana realita yang baru yaitu suatu
kehidupan yang bebas dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan,
sifat dan rakus. Dengan menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu merasakan
hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realita
spiritual yang ditempuh bukanlah sesuatu yang ilusi, tetapi benar-benar suatu
realita yang hanya dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang pada akhirnya
melembaga menjadi tarekat sebagian besar selalu mempraktekkan sikap uzlah yang
bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia. Hal
ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi apatis terhadap
kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari
tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Maka terjadilah ketimpangan di sini, di
mana akhirnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal yang
bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, sehingga
yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian dari Neo sufisme
berserta ciri-cirinya?
2.
Siapa saja tokoh-tokoh dalam
perkembangan Tasawuf di Indonesia?
C. Tujuan Masalah
Sejalan dengan rumusan
masalah di atas, tujuannya adalah
1.
Untuk mengetahui pengertian Neo
sufisme berserta ciri-cirinya.
2.
Agar mahasiswa dapat mengetahui
tokoh-tokoh perkembangan tasawuf di Indonesia.
D. Metode Penulisan
Metode Kepustakaan
Suatu metode yang sistematis dimana penyusun mencari
berbagai sumber yang dapat di jadikan bahan yan bersifat mutlak dan bersifat
real atau nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed sufism”
yang maknanya adalah sufisme yang telah diperbaharui. Sekiranya pada era
kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat
ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya
digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat
pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan
sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan
diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan
neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang
paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung
jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan
tersebut adalah kumpulan Ahl Hadis. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak
mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks
terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau
mendekatkan diri kepada Allah swt.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang
sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang
tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf
wa nahy `an al- munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Adapun
cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memiliki yang membedakan dengan
tasawuf popler:
1.
Neo sufisme, memberikan
penghargaan positif pada dunia untuk itu seorang sufi, menurut paham ini tidak harus
miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan menolak dengan
harta dan kekayaan, tetapi mempergunakannya sesuai dengan petunjuk Allah dan
sunah Rasul.
2.
Neo Sufisme menekankan kesucian
moral dan akhlak ul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan taqwa.
Peningkatan moral disini individu yang sosial, melainkan juga moral masyarakat.
3.
Neo Sufisme terdapat aktifitas dan
dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak. Dalam bidang intlektual,
penganut Neosufisme bersifat sangat terbuka dan inklusifistik. Mereka dapat
menerima semua khasanah intlektual islam sejauh dapat dipertemukan dengan
Alquran dan Al-Sunnah. Sementara dalam kemasyarakatan, mereka terlibat secara
aktif dalam rekayasa sosial-moral
masyarakat dengan melakukan amar makruf dan
nahi munkar.[1]
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas
menunjukkan bahawa neosufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam
yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek
kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula
dapat dikatakan bahwa yang disebut neosufisme itu tidak kesemuanya adalah
“barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan
dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang
mengatakan bahawa neosufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan
keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam
masalah-masalah kemasyarakatan. Neosufisme mendorong dibukanya peluang bagi
penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak
terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah
keseimbangan (tawazun).[2]
Berdasarkan paparan di atas, maka tampilan empiris seorang
neosufis menuju kedekatan kepada Allah swt. dapat dilakukan di tengah-tengah
kesibukan dunia modern. Ia adalah seorang muknim namun sekaligus sebagai
sebagai seorang wiraswasta, bankir, birokrat, teknokrat dan sebagainya. Atas
dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat terus
melakukan riyadhah dalam kesibukannya sebagai seorang modern. Kelebihan dari
sosok praktik ini adalah bahwa dirinya akan tetap memiliki kedamaian dan
ketenangan bersama Allah swt., karena qalbunya tidak terikat oleh dunia. Dengan
kata lain, sufi jenis ini bisa jadi adalah adalah milyader, namun kenyataan itu
tidak menjerat hatinya untuk mencari kedekatan kepada Allah swt. yang merupakan
tujuan sebenarnya.
Di Indonesia sendiri kalau kita perhatikan perkembangan
neosufisme cukup luar biasa, mulai dari Hamka yang menggagas tasauf modern
sampai era 80an muncul satu fenomena di sekitar kampus yang namanya dakwah
kampus, gerakan akhlak yang dimulai dengan pengajian, zikir harian, tilawah
qur-an, dengan tidak meninggalkan aktifitas sehari-hari.[3]
Dalam perkembangannya kemudian bentuk neosufisme ini
melembaga yang diprakarsai oleh Arifin ilham dengan majelis zikir “Az-Zikra”,
kemudian diikuti oleh yang lain dengan berbagai macam nama sampai sekarang yang
sangat terkenal di masyarakat adalah “Majelis Rasulullah” yang pada hakekatnya
adalah gerakan neosufisme.
B.
Tokoh-tokoh Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Dalam melihat perkembangan tasawuf di Indonesia, yunasril
Ali membaginya tiga periode,[4]
yaitu:
Pertama, periode masa pertumbuhan dengan tokoh-tokoh
seperti Hamzah Al-Fanshuri, Syamsuddin
As-Sumathrani, Abdur Rauf al-Fanshuri (Al-Sinkily), Naruddin Ar-Raniry, Syekh
Burhanuddin Ulakan dan Syekh Yusuf Tajul Khalwat atau Yusuf Al-Maqassari.
Kedua, adalah masa perkembangan dengan tokoh-tokoh seperti
Syekh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Syekh
Muhammad Nafis Al-Banjari dan Syekh Daud Al-Fathani.
Ketiga, adalah masa permunian tasawuf dengan tokoh-tokoh
seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh
Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Abdur Rauf Al-karnusyi dan
Hamka.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Neosufisme merupakan jalan alternatif yang ditawarkan bagi
siapa yang ingin menempuh jalan menuju Allah swt. Meskipun “neosufisme” tetap
mengandung kontroversi yang panjang hingga kini. Neosufisme bukan barang baru,
ia merupakan upaya menghidupkan tradisi sufi model “salafi”, yaitu melakukan
praktik sufi di tengah kesibukan duniawi yang sudah dipraktikkan Nabi saw. dan
para sahabatnya. Dengan demikian, hemat penulis bukan tidak mungkin bahwa
istilah neosufisme juga akan berganti dengan istilah yang lain, yang intinya
adalah menghidupkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern atau menjadi
manusia modern yang mempraktikkan nilai-nilai tasawuf. Sebab, bukankah dulu
Hamka telah menggagas ‘Tasawuf Modern” dan era kini Haidar Bagir menamai dengan
“Tasawuf Positif”. Penulis membuat satu hipotesa bahwa neosufisme ini akan
terus berkembang dan diminati oleh masyarakat, karena kecendrungan manusia
selalu mencari ketenangan batin dan jiwanya dengan tidak harus meninggalkan
aktifitas harian mereka. Wallahu a’lam.
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang
ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga
Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak lebih-lebih ibu dosen
pengampuh yang telah memberi semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini
dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Mukhtar, M.Si.
Memahami Ilmu Tasawuf. Yoyakarta: Aura Media, 2009.
Drs. K. Permadi, S.
Pengantar Ilmu Tasawwauf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Amin,
Syukur. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Martin
dan Julia. Urban Sufism. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Rahman,
Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.
[1] A. Ilyas Ismail, M.A. “Neo Sufisme”, Rupbrik ‘Hikmah’ Harian Replubika, 13 mei 1997.
[2] Madjid, Nurcholis. Sufisme dan Masa
Depan Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
[3] Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta:
Panji Mas, 2007.
[4] Yunasril Ali, pengantar ilmu tasawwuf, Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta,1987, hal. 95.
0 komentar:
Posting Komentar