BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Distribusi pedapatan merupakan
masalah yang sangat rumit, singga saat ini masih sering dijadikan bahn
perdebatan antara ahli ekonomi. System ekonomi kapitalis memandang seseorng
individu dapat secara bebas mengumpulkan dan menghasilkan kekayaan (pendapatan)
dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki serta tidak ada batasan untuk
memanfaatkan dan membagi harta yang dimiliki. Sementara system ekonomi sosialis
berpendapat bahwa kebebasan secara mutlak dapat membahayakan masyarakat. Oleh
karena itu hak individu atas harta harus dihapuskan dan wewenang dialihkan
kepada Negara sehingga pemerataan dapat diwujudkan.
Kedua system ekonomi tersebut
ternyata belum dapat memberikan solusi yang adil dan merata terhadap masalah
penditribusian dalam masyarakat. Untuk itu islam menjelaskan pada surat
Al-Hasyr: 22, Adz-Dzariyat: 19, Ath-Thalaq: 7, Al-Ma’arij: 24-25, At-Taubah:
103. Yang akan dibahas oleh kelompok kami.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan
pengertian Distribusi dalam Islam?
2. Bagaimana
penafsiran dan kandungan ayat-ayat yang terkandung dalam Distribusi?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian Distribusi dalam Islam.
2. Untuk
mengetahui Tafsir dan kandungan ayat yang terkait dalam Distribusi.
D. Metode Penulisan
Metode
yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini adalah study pustaka yaitu
usaha untuk menghimpun informasi-informasi yang relavan dari buku-buku dan
sumber-sumber baik tercetak ataupun elektronik lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Distribusi dalam Islam
Pengertian distribusi menurut kamus
besar bahasa indonesia adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada
beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang keperluan sehari-hari
(terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk,
dsb.[1] Sedangkan distrbusi menurut para
ahli ekonomi antara lain:
1. Menurut Winardi
(1989:299) Saluran distribusi merupakan suatu kelompok perantara
yang berhubungan erat satu sama lain dan yang menyalurkan produk-produk kepada
pembeli.
2. Menurut Warren J. Keegan (2003)
Saluran Distribusi adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk
menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai
industri.
3. Menurut Assauri (1990: 3) Saluran
distribusi merupakan lembaga-lembaga yang memasarkan produk, yang berupa barang atau jasa dari
produsen ke konsumen.
4. Menurut Kotler (1991 : 279) Saluran
distribusi adalah sekelompok perusahaan atau perseorangan yang memiliki
hak pemilikan atas produk atau membantu memindahkan hak pemilikan produk atau
jasa ketika akan dipindahkan dari produsen ke konsumen.
5. Sedangkan Philip Kotler (1997:140)
Saluran distribusi adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan
terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu barang atau jasa siap untuk
digunakan atau dikonsumsi.[2]
Dari pangertian tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa distribusi merupakan proses penyaluran hasil produksi
berupa barang dan jasa dari produsen ke konsumen guna memenuhi kebutuhan
manusia, baik primer maupun sekunder.
System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal
pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan
kepemilikan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai
oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang
menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam
al-qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang
dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi
diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai
suatu keseluruhan (59:7).
Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan
cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national
income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi
salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola
distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan
karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan
buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun
menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang
menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat
kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara
yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam.
B. Surat Yang Berkaitan dengan
Distribusi
a.
Q.S. Al-Hasyr : 22
uqèd ª!$# Ï%©!$# Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd ( ÞOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»yg¤±9$#ur ( uqèd ß`»oH÷q§9$# ÞOÏm§9$# ÇËËÈ
Dialah Allah yang tiada
Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Hasyr : 22)
b. Q.S.
Adz-Dzariyaat : 19
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian. (Q.S. Adz-Dzariyaat : 19)
c. Q.S.
At-Thalaq : 7
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(Q.S. At-Thalaaq : 7)
d. Q.S.
Al-Ma’arij : 24-25
úïÉ©9$#ur þÎû öNÏlÎ;ºuqøBr& A,ym ×Pqè=÷è¨B ÇËÍÈ È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãósyJø9$#ur ÇËÎÈ
Dan orang-orang yang
dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan
orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (Q.S.
Al-Ma’arij : 24-25)
e. Q.S.
At – Taubah : 103
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(Q.S. At-Taubah : 103)
C. Sebab Turunnya Ayat
a. QS.
Al-Hasyr: 22
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa surah ini turun pada waktu perang bani nadlir.
(Diriwayatkan oleh AL-Bukhari yang bersumber dari ibn ‘Ab-bas)
b. QS.
Adz-Dzaariyaat : 19
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa Rosulullah SAW mengirim pasukan bersenjata.
Mereka mendapat kemenangan dan ghanimah. Setelah selesai peperangan datanglah
orang-orang miskin meminta bagian maka turunlah ayat ini sebagai penegasan
bahwa pada harta ghanimah terdapat bagian kaum fakir miskin. (Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi
Hatim, yang bersumpah dari al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyyah).[3]
c. QS.
At-Taubah : 103
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Lubabah bersama kedua temannya, setelah
dilepaskan dari tiang-tiang, datang menghadap Rasulullah saw. Dengan membawa
harta bendanya, seraya berkata :”ya Rasulullah! Ini adalah harta benda kami,
sedekahkanlah atas nama kami, dan mintalah ampunan bagi kami.” Rasulullah saw
menjawab, “ aku tidak diperintah untuk menerima harta sedikit pun.” Maka
turunlah QS. At-Taubah : 103, yang memerintahkan untuk menerima sedekah mereka
dan mendoakan mereka.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari ‘ali bin abi thalhar yang bersumber dari ibnu ‘abbas.
Diriwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (QS. At-Taubah ; 103) turun berkenaan
dengan tujuh orang (yang meninggalkan diri, tidak mengikuti Rasulullah SAW ke
perang Tabuk). Empat orang diantaranya mengikat dirinya masing-masing di
tiang-taiang, yaitu: Abu Lubabah, Mirdas, Aus bin Khudzam, dan Tsa’labah bin
wadi’ah. (HR. Abdillah dari Qatadah)[4]
D. Tafsir Mufradat dan Kandungan Ayat
a. Surat
Al-Hasyr ayat 22
Ayat ini menjelaskan
bahwa Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, dan setiap orang yang
menyembah selain Dia seperti tumbuh-tumbuhan, batu, berhala, atau raja adalah
batal. Allah Maha mengetahui segala sesuatu yang tampak di jagat raya baik yang
tampak maupun tidak tampak, serta tidak ada satu yang di langit dan di bumi ini
yang lepas dari pengetahuan Tuhan. Allah memiliki Rahmat yang amat luas yang
menjangkau seluruh Ciptaan-Nya. Allah Maha Pengasih di dunia dan akhirat serta
pada keduanya.[5]
Ayat ini
menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan Al-Quran dan yang
disebut-sebut pada ayaty-ayat yang lalu Dia, Allah Yang tiada Tuhan yang berhak
disembah, serta tiada Pencipta dan Pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha
Mengetahui yang ghaib baik yang nisbiy/relatif maupun yang mutlak dan yang
nyata, Dia-lah saja ar-Rahman Pencurah rahmat yang bersifat sementara untuk
seluruh makhlukdalam pentas kehidupandunia ini lagi ar-Rahim pencurah rahmat
yang abadi bagi orang-orang beriman di akhirat nanti.[6]
Kata (Huwa)
yang mendahului ar-Rahman ar-Rahim berfungsi mengkhususkan kedua sifat itu
dalam pengertiannya yang sempurna hanya untuk Allah SWT. Kata (Huwa)
sepintas tidak diperlukan lagi karena telah menunjuk kepada Allah. Tetapi ini
agaknya untuk menggambarkan semua sifat-sifat-Nya.sebelum menyebut sifat-sifat
tertentu, karena kata Allah menunjukkan kepada Dzat yang wajib wujud-Nya itu
dengan sifat-Nya, baik sifat Dzat maupun sifat fi’il.[7]
"Dia adalah Maha Murah, Maha
Penyayang." (ujung ayat 22).
Ar-Rahmaan
kita artikan Pemurah.. Ar-Rahiim kita artikan Penyayang. Hasil jipratan dari
sifat Rahman dan sifat Rahim itu ialah Rahmat. Rahmat itu pun diartikan juga
kasih-sayang! Kasih-sayang Allah itu nampak di mana saja, apabila saja!
Kemurahan
dan kasih-sayang Ilahi itulah yang kita lihat di mana-mana dan Kasih-sayang
serta kemurahan Tuhan itulah yang menyebabkan hidup kita sesuai dalam bumi ini.
Kita diberi kemudahan dan penyelenggaraan. Segala sesuatu di atas bumi ini
dapat kita memanfaatkan. Bahkan pertalian di antara satu bintang dengan bintang
yang lain, pertalian antara bumi dengan bulan, matahari dengan bintang-bintang
satelitnya, semuanya berjalan dalam lindungan kasih-sayang dan kemurahan Tuhan.
b. Surat Adz-Dzariyat ayat 19
Banyak sekali pendapat ulama mengenai makna (المحروم) tetapi sebagian diantaranya merupakan
cotoh-contoh dari orang-orang yang wajar dinamai mahrum. Konon asy-sya’bi salah
seorang yang hidup pada masa sahabat Nabi saw, pernah berkata: “Telah berlalu
usiaku sebanyak tujuh puluh tahun sejak aku dewasa, aku belum memahami apa yang
dimaksud dengan al-mahrum”[8]
Tapi ada salah satu sumber yang menyatakan bahwa kosakata
dari ayat tersebut adalah (المحروم) maknanya berkisar pada arti al-man’atau
tercegah, terhalangi dan lain sebagainya. Sebagian ahli tafsir mengartikannya
sebagai orang yang menjaga diri dari meminta-minta, padahal dirinya dalam
kekurangn. Sebagian lagi mengartikannya dengan orang yang terkena malapetaka
terhadap tanamannya atau hewanya.
Ayat ini menerangkan bahwa disamping mereka melaksanakan
sholat wajib dan sunnah, mereka juga selalu megeluarkan infaq fi sabilillah
deangan cara mengeluarkan zakat atau sumbangan derma atau songkongan sukarela
karena mereka memandang bahwa pada harta-harta mereka itu ada hak fakir miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta bagian karena merasa malu
untuk meminta.
Selain itu juga diperkuat
dengan Allah berfirman
bahwa, “dan harta-harta mereka ada hak” yaitu bagian yang dipisahkan dan
dikhususkan untuk orang yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan
bagian. Adapun orang yang meminta-minta itu, maka sudah diketahui, yaitu orang
yang memulai upayanya dengan jalan meminta-minta dan orang yang seperti itu ada
haknya. Adapun yang dimaksud dengan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian,
maka Ibnu Abbas r.a dan yang lainnya mengatakan, “dia adalah orang yang
bernasib buruk yang tidak mendapatkan bagian dalam islam, yaitu tidak
mendapatkan dari baitul mal, dia tidak mempunyai usaha dan keahlian yang dapat
dijadikan pegangan untuk kehidupan sehari-hari”.[9]
Kaitan Ayat Dengan Tema
Bahwa kita diciptakan harus bisa saling mengerti, dalam artian meskipun kita
sudah mempunyai harta yang banyak karena bisa bekerja dan bisa menghasilkan
suatu karya, maka jangan lupa dengan orang-orang yang ada disekitar kita.
Terutama orang-orang yang membutuhkan. Karena setiap harta yang kita miliki
pasti ada harta mereka. Dan kita harus bisa mendistribusikan dengan baikmelalui
zakat, infaq dll.
c. Surat
At- Thalaq ayat 7
Ayat
di atas menjelaskan prinsip umum yang mencakup penyusunan dan sebagainya
sekaligus menengahi kedua pihak dengn menyatakan bahwa :Hendaklah yang lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan
anak-anaknya dari yakni sebatas kadar
kemampuannya dan dengan demikian
hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan
dan keluasan berbelanja dan siapa yang
disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Jangan sampai dia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan
mencari rezeki dari sumber yang tidak direstui Allah. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai apa yang
Allah berikan kepadanya. Karena itu janganlah wahai istri menuntut terlalu banyak
dan pertimbangkanlah keadaan suami dan bekas suami kamu. Di sisi lain hendaklah
semua pihak selalu optimis dan mengharap kiranya Allah memberinya kelapangan
karena Allah karena akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.
Sa yaj’alu Allah ba’da
‘usrin yusran “Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan ada
ulama yang memahaminya sebagai janji yang pasti terlaksana. Al-Biqa’i
mengomentari penggalan ayat ini bahwa: “Karena itu tidak ada seseorang yang
terus-menerus sepanjang usianya dalam seluruh keadaannya hidup dalam
kesempitan.” Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini ditunjukan kepada kaum
muslimin pada masa Nabi SAW. Di mana kelapangan rezeki telah mereka dapatkan
dengan kemenangan-kemenangan yang ereka raih dalam peperangan dan yang menghasilkan
harta rampasan serta lahan pertanian.
Menurut
Thabathaba’i penggalan ayat itu berarti: “Allah akan mempermudah baginya
kesulitan yang dihadapinya atau mempermudah baginya persoalan dunia dan
akhirat, kalau bukan berupa kelapangan di dunia maka ganti yang baik di akhirat
kelak.”[10]
d. Surat
Al-Ma’arij ayat 24-25
Disamping
mengerjakan salat untuk mengingat dan menghambakan diri kepada Allah, manusia
memperintahkan agar selalu meneliti harta yang telah dianugrahkan Allah
kepadanya; apakah dalam harta itu telah atau belum ada hak orang miskin yang
meminta-minta, dan orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu apa pun. Jika ada
hak mereka, segera mengeluarkan hak itu. Karena dia percaya bahwa selama ada
hak orang lain dalam hartanya itu, berarti hartanya belum lagi suci, Allah SWT.
Berfirman: ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka.
Ayat-ayat di atas
menyatakan bahwa: dan orang-orang dalam
harta mereka ada hak yakni bagian tertentu yang mereka peruntukkan bagi
orang-orang yang butuh yang meminta dan yang tidak mempunyai apa-apa tetapi
enggan dan malu meminta dan juga orang-orang yang mempercayai keniscayaan hari
pembalasan, sehingga mempersiapkan bekal.
Sementara ulama
memahami makna baqqun ma’lum atau hak tertentu dalam arti zakat, karena zakat
adalah kewajiban yang telah tertentu kadarnya. Ulama lain memahaminya dalam
arti kewajiban yang ditetapkan sendiri oleh yang bersangkutan selain zakat dan
yang mereka berikan secara suka rela dan jumlah tertentu kepada fakir miskin.
Ini karena ayat di atas dikemukakan dalam konteks pujian, dan tentu saja
pendapat kedua ini lebih menonjol sifat terpujinya.
e. Surat
At-Taubah ayat 103
Amwal (At-Taubah 103)
Amwal merupakan bentuk jama’ dari mal yang berarti harta
benda. Amwal dalam ayat ini terkait harta benda yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Zakat yang dikeluarkan dari amwal biasanya zakat al-mal atau zakat
al-amwal. Amwal itu sendiri dapat berbentuk an-naqdain (emas dan perak)
az-zuru’ (tanaman), as-simar (buah-buahan), at-tijarah (perdagangan atau
niaga), ar-rikaz (barang temuan simpanan, atau harta karun), dan al-ma’adin
(barang tambang).
Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditunjukkan kepada
Rasul-Nya agar Rasulullah sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda
mereka sebagai sedekah atau zakat. Ini untuk menjadi bukti kebenaran tobat
mereka karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari
dosa yang timbul karena mangkirnya (malas) mereka dari peperangan dan untuk
mensucikan diri mereka dari sifat “cinta harta” yang mendorong mereka untuk
mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan
membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena
harta benda, seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasul
mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum Muslimin.
Di samping itu, dapat dikatakan bahwa penuaian zakat
berarti membersihkan harta benda yang tinggal, sebab pada harta benda seseorang
terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama islam telah
ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu
belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta
bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk dimakannya.
Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka harta tersebut
menjadi bersih dari hak orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat terbebas dari
sifat kikir dan tamak. Menunaikan zakat akan menyebabkan keberkahan pada sisa
harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya
bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan
memperoleh keberkahan.
Perlu diketahui, walaupun perintah Allah dalam ayat ini
pada lahirnya ditunjukkan kepada Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini berkenaan
dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun hukumnya juga berlaku
terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat muslim, untuk
melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini yaitu untuk memungut zakat
tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat, dan kemudian
membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka
zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina
kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada
Rasul-Nya, dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat, agar
setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat, mereka berdoa kepada Allah
bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat. Doa tersebut akan menenangkan
jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan
dalam hati mereka bahwa Allah benar-benar telah menerima tobat mereka.
اجرك الله فيما اعطيت وبارك لك فيما ابقيت
Semoga Allah memberi pahala terhadap apa-apa yang kamu berikan, dan
memberkahi apa yang tinggalkan.
Pada akhirnya ayat ini diterangkan bahwa Allah Maha
Mendengar setiap ucapan hamba-Nya yang bertobat, Allah Maha Memgetahui semua
yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya, seperti rasa penyesalan dan
kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuat.
Kaitanya dengan Tema :
Ayat diatas menunjukkan bahwa menunaikan zakat itu akan
menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia
tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka
harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan, dan tidak akan
berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan
menyusut, sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya, sebagai hukuman
Allah SWT terhadap pemiliknya. Perlu diketahui, bahwa walaupun perintah Allah
SWT dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya, dan turunnya ayat
ini ialah berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun ia
juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum
Muslimin, untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu
untuk menunggu zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat, dan
kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya.
Dengan demikian, maka distribusi di dalam zakat akan
dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina
kesejahteraan masyarakat.
E. MUNASABAH
1. QS.
Al-Hasyr : 22 , QS. Adz-Dzaariyaat : 19, at-Taubah 103 dan QS. Al-Ma’arij :
24-25
Munasabah
keempat surat diatas ialah di dalam harta yang kita miliki itu ada hak-hak
orang lain baik ia meminta atupun tidak. Dan itu semua dapat menjadikan kita
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena hanya Dialah tempat kita
mengadu, meminta pertolongan dan banyak hal lainnya. Kita ketahui bersama bahwa
Allah adalah Maha Mengetahui apa saja yang kita lakukan. Apabila kita berbuat
baik maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan. Apabila kita berbuat keburukan
maka Allah akan memberikan ganjaran yang setimpal dengan apa yang telah kita
kerjakan. Namun jika kita telah berbuat kebathilan dan kita ingin bertobat
dengan sungguh-sungguh dan tidak akan melakukan perbuatan itu lagi maka insya
Allah, Allah akan menerima tobat kita karena Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Dan bersedekah adalah taubat yang berkaitan dengan harta, sedangkan
tobat yang tulus adalah sedekah dalam bentuk amal dan kegiatan nyata. Kegiatan
nyata, antara lain membayar zakat dan bersedekah. Dan Allah juga telah mengatur
bagaimana kita dalam mentalaq seorang istri dan kita
2. Munasabah
surat QS. Al-Hasyr : 22 , QS. Adz-Dzaariyaat : 19, at-Taubah 103 dan QS.
Al-Ma’arij : 24-25, at-thalaq ayat 7 dengan Distribusi Dalam Islam
Islam membolehkan adanya harta
pribadi dan hasil usaha pribadi dan bukan seperti Negara totaliter yang
menguasai semua kekayaan dan memperlakukan rakyatnya seperti mesin tanpa
perasaaan dan belas kasihan. Paham komunis memaksa setiap orang untuk menganut
ideology yang sama. Ajaran Islam penuh dengan esensi moral dan keadilan social
yang akan menjadi patokan umum antara orang Islam dan non Islam. Masyarakat
bebas menyakini apa yang mereka sukai dan bekerja sesuai keingingan sepanjang
pekerjaan mereka tidak mengandung norma-norma yang tidak bermoral dan anti
social. Setiap orang diwajibkan mencari nafkah dengan kerja keras dan kejujuran
untuk kepuasan dari apa yang diinginkan lalu membelanjakan dari kelebihan yang
dimiliki untuk memenuhi kebuthan-kebutuhan orang miskin yang melarat yang ada
pada masyarakat. Dengan kata lain, orang-orang islam diharapkan menyumbangkan
kekayaan mereka dengan ikhlas sehingga kebutuhan kaum dhuafa itu dapat
terpenuhi. Prinsip infaq tidak meminta seseorang untuk melupakan hak milik pribadinya
tapi sekedar mengingatkan seseorang untuk menafkahkan hartanya sesuai
kebutuhannya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pengertian distribusi menurut kamus
besar bahasa indonesia adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada
beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang keperluan sehari-hari
(terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk,
dsb.
Surat
Al-Hasyr ayat 22
Ayat ini
menjelaskan bahwa Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, dan setiap orang
yang menyembah selain Dia seperti tumbuh-tumbuhan, batu, berhala, atau raja
adalah batal. Allah Maha mengetahui segala sesuatu yang tampak di jagat raya
baik yang tampak maupun tidak tampak, serta tidak ada satu yang di langit dan
di bumi ini yang lepas dari pengetahuan Tuhan. Allah memiliki Rahmat yang amat
luas yang menjangkau seluruh Ciptaan-Nya. Allah Maha Pengasih di dunia dan
akhirat serta pada keduanya.
Surat
Adz-Dzariyaat ayat 19
Ayat ini menerangkan bahwa disamping mereka melaksanakan
sholat wajib dan sunnah, mereka juga selalu megeluarkan infaq fi sabilillah
deangan cara mengeluarkan zakat atau sumbangan derma atau songkongan sukarela
karena mereka memandang bahwa pada harta-harta mereka itu ada hak fakir miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta bagian karena merasa malu
untuk meminta.
Surat
Ath- Thalaq ayat 7
Ayat
di atas menjelaskan prinsip umum yang mencakup penyusunan dan sebagainya
sekaligus menengahi kedua pihak dengn menyatakan bahwa :Hendaklah yang lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan
anak-anaknya dari yakni sebatas kadar
kemampuannya dan dengan demikian
hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan
dan keluasan berbelanja dan siapa yang
disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Jangan sampai dia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan
mencari rezeki dari sumber yang tidak direstui Allah.
Surat
Al-Ma’arij ayat 24-25
Ayat-ayat di atas
menyatakan bahwa: dan orang-orang dalam harta mereka ada hak yakni bagian
tertentu yang mereka peruntukkan bagi orang-orang yang butuh yang meminta dan
yang tidak mempunyai apa-apa tetapi enggan dan malu meminta dan juga
orang-orang yang mempercayai keniscayaan hari pembalasan, sehingga
mempersiapkan bekal.
Surat
At-Taubah ayat 103
Ayat diatas menunjukkan bahwa menunaikan zakat itu akan
menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia
tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka
harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan, dan tidak akan
berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan
menyusut, sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya, sebagai hukuman
Allah SWT terhadap pemiliknya.
B. Saran
Dengan
selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang ikut adil wawasannya dalam
penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami
tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua
jerih payah semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi
semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, Raja
Grafindo Persada, Jakarta: 2002.
Abuddin Nata, Tafsir ayat-ayat pendidikan,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002.
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah : Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Juz II, Lentera Hati,
Jakarta : 2002.
Muhammad
Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-Qur’anul majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Mushthafa
Al-Maraghi Ahmad, Tafsir Al-Maraghi,
CV Toha Putra, Semarang: 1989.
Shaleh
Q,A Dahlan, Asbabun Nuzul edisi kedua,
CV Penerbit Diponogoro, Bandung: 2000.
[4]
A. Mudjab Mahali, Op
Cit., hal. 485.
[6] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah :
Pesan , Kesan dan keserasian al-Qur’an, Juz II, (Jakarta : Lentera Hati,
2002), hlm. 135.
[8] Shihab,
Quraish, tafsir al-misbah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 333
[9] Ar-rifa’i nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari
Tafsir Ibnu Kastir, jilid 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal.
471
0 komentar:
Posting Komentar