Contoh Tulisan Berjalan

Friends

Friends

Senin, 27 Mei 2013

Makalah Akhlak Tasawuf


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Kecenderungan kehidupan yang berlatar belakang falsafah kapitalisme bukan saja menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah materialistic-hedonistic tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan dalam masyarakat. Kehidupan manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada lagi harapan dan cinta dalam kehidupan seharian. Berdasarkan hal ini, modernisme dilihat gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia, sehingga keadaan ini telah menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah spiritualisme Muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spiritual para sufi. Ini karena jalan itu dirasakan amat releven dengan kehidupan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi mengalami suasana realita yang baru yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat dan rakus. Dengan menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realita spiritual yang ditempuh bukanlah sesuatu yang ilusi, tetapi benar-benar suatu realita yang hanya dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang pada akhirnya melembaga menjadi tarekat sebagian besar selalu mempraktekkan sikap uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Maka terjadilah ketimpangan di sini, di mana akhirnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, sehingga yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dari Neo sufisme berserta ciri-cirinya?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh dalam perkembangan Tasawuf di Indonesia?

C.  Tujuan Masalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuannya adalah
1.      Untuk mengetahui pengertian Neo sufisme berserta ciri-cirinya.
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tokoh-tokoh perkembangan tasawuf di Indonesia.

D.  Metode Penulisan
Metode Kepustakaan
Suatu metode yang sistematis dimana penyusun mencari berbagai sumber yang dapat di jadikan bahan yan bersifat mutlak dan bersifat real atau nyata.















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed sufism” yang maknanya adalah sufisme yang telah diperbaharui. Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl Hadis. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah swt.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memiliki yang membedakan dengan tasawuf popler:
1.      Neo sufisme, memberikan penghargaan positif pada dunia untuk itu seorang sufi, menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan menolak dengan harta dan kekayaan, tetapi mempergunakannya sesuai dengan petunjuk Allah dan sunah Rasul.
2.      Neo Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlak ul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan taqwa. Peningkatan moral disini individu yang sosial, melainkan juga moral masyarakat.
3.      Neo Sufisme terdapat aktifitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak. Dalam bidang intlektual, penganut Neosufisme bersifat sangat terbuka dan inklusifistik. Mereka dapat menerima semua khasanah intlektual islam sejauh dapat dipertemukan dengan Alquran dan Al-Sunnah. Sementara dalam kemasyarakatan, mereka terlibat secara aktif dalam rekayasa  sosial-moral masyarakat dengan melakukan amar makruf dan nahi munkar.[1]
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neosufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neosufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neosufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Neosufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah keseimbangan (tawazun).[2]
Berdasarkan paparan di atas, maka tampilan empiris seorang neosufis menuju kedekatan kepada Allah swt. dapat dilakukan di tengah-tengah kesibukan dunia modern. Ia adalah seorang muknim namun sekaligus sebagai sebagai seorang wiraswasta, bankir, birokrat, teknokrat dan sebagainya. Atas dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat terus melakukan riyadhah dalam kesibukannya sebagai seorang modern. Kelebihan dari sosok praktik ini adalah bahwa dirinya akan tetap memiliki kedamaian dan ketenangan bersama Allah swt., karena qalbunya tidak terikat oleh dunia. Dengan kata lain, sufi jenis ini bisa jadi adalah adalah milyader, namun kenyataan itu tidak menjerat hatinya untuk mencari kedekatan kepada Allah swt. yang merupakan tujuan sebenarnya.
Di Indonesia sendiri kalau kita perhatikan perkembangan neosufisme cukup luar biasa, mulai dari Hamka yang menggagas tasauf modern sampai era 80an muncul satu fenomena di sekitar kampus yang namanya dakwah kampus, gerakan akhlak yang dimulai dengan pengajian, zikir harian, tilawah qur-an, dengan tidak meninggalkan aktifitas sehari-hari.[3]
Dalam perkembangannya kemudian bentuk neosufisme ini melembaga yang diprakarsai oleh Arifin ilham dengan majelis zikir “Az-Zikra”, kemudian diikuti oleh yang lain dengan berbagai macam nama sampai sekarang yang sangat terkenal di masyarakat adalah “Majelis Rasulullah” yang pada hakekatnya adalah gerakan neosufisme.
B.     Tokoh-tokoh Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Dalam melihat perkembangan tasawuf di Indonesia, yunasril Ali membaginya tiga periode,[4] yaitu:
Pertama, periode masa pertumbuhan dengan tokoh-tokoh seperti Hamzah Al-Fanshuri,  Syamsuddin As-Sumathrani, Abdur Rauf al-Fanshuri (Al-Sinkily), Naruddin Ar-Raniry, Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh Yusuf Tajul Khalwat atau Yusuf Al-Maqassari.
Kedua, adalah masa perkembangan dengan tokoh-tokoh seperti Syekh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari dan Syekh Daud Al-Fathani.
Ketiga, adalah masa permunian tasawuf dengan tokoh-tokoh seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Abdur Rauf Al-karnusyi dan Hamka.





BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Neosufisme merupakan jalan alternatif yang ditawarkan bagi siapa yang ingin menempuh jalan menuju Allah swt. Meskipun “neosufisme” tetap mengandung kontroversi yang panjang hingga kini. Neosufisme bukan barang baru, ia merupakan upaya menghidupkan tradisi sufi model “salafi”, yaitu melakukan praktik sufi di tengah kesibukan duniawi yang sudah dipraktikkan Nabi saw. dan para sahabatnya. Dengan demikian, hemat penulis bukan tidak mungkin bahwa istilah neosufisme juga akan berganti dengan istilah yang lain, yang intinya adalah menghidupkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern atau menjadi manusia modern yang mempraktikkan nilai-nilai tasawuf. Sebab, bukankah dulu Hamka telah menggagas ‘Tasawuf Modern” dan era kini Haidar Bagir menamai dengan “Tasawuf Positif”. Penulis membuat satu hipotesa bahwa neosufisme ini akan terus berkembang dan diminati oleh masyarakat, karena kecendrungan manusia selalu mencari ketenangan batin dan jiwanya dengan tidak harus meninggalkan aktifitas harian mereka. Wallahu a’lam.
B.  Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak  yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak lebih-lebih ibu dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA


Hadi, Mukhtar, M.Si. Memahami Ilmu Tasawuf. Yoyakarta: Aura Media, 2009.
Drs. K. Permadi, S. Pengantar Ilmu Tasawwauf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Amin, Syukur. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Martin dan Julia. Urban Sufism. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.



[1] A. Ilyas Ismail, M.A. “Neo Sufisme”, Rupbrik ‘Hikmah’ Harian Replubika, 13 mei 1997.
[2] Madjid, Nurcholis. Sufisme dan Masa Depan Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
[3] Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Panji Mas, 2007.
[4] Yunasril Ali, pengantar ilmu tasawwuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta,1987, hal. 95.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Sebuah perjalanan yang harus dihadapi, meskipun bijak tapi sama saja munafiq nya. semua tak akan pernah berhenti, Berjuang dan berjuang.... Mimpi Besarrr ku...