Contoh Tulisan Berjalan

Friends

Friends

Makalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada makalah ini penulis ingin menguraikan atau menjelaskan sumber hukum Islam, yang mana sudah kita ketahui sumber Islam yaitu Alquran dan Hadis. Walaupun Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Hal ini dipandang penting agar para penstudi dan masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadisOleh karena kita pun harus mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini
Dalam ilmu ushul fikih, ada istilah yang biasa kita sebut “sumber”, “dalil” dan “metode”. Ketiga istilah sering digunakan secara tumpang tindih yang akhirnya menimbulkan pengertian yang rancu. Oleh karena itu pula, sebelum menguraikan tentang Alquran dan hadis, maka yang diuraikan terlebih dahulu adalah mengenai sumber, dalil dan metode.  
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan Turunnya Al-Qur’an?
2.      Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum?
3.      Bagaimana Al-Qur’an sebagai sumber Hukum?
4.      Bagaimana Penjelasan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an?

C.  Tujuan Masalah
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuannya adalah:
  1. Untuk membahas Pengertian dan Turunnya Al-Qur’an.
  2. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Al-Qur’an terhadap Hukum.
  3. Untuk memberikan pengetahuan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber Hukum.
  4. Untuk memperdalam wawasan ilmu tentang Penjelasan Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.

D.  Metode Penulisan
Metode yang digunakan ialah:
Metode Kepustakaan, suatu metode yang sistematis dimana penyusun mencari berbagai referensi sebagai bahan rujukan yang sumbernya dapat dijadikan bahan yang bersifat mutlak dan bersifat real.






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Dan Turunnya Al-Qur’an
a.    Pengertian al-Qur’an
Al-qur’an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.[1]
Secara etimologis, Alquran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a (قرأ) se-wazan dengan kata fu’lan (فعلأن), artinya: bacaan; berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قران berarti مقرؤ , yaitu isim maf’ul objek dari kata قرأ.[2] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18;
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam kajian Ushul Fiqh,[3] al-Qur’an juga disebut dengan al-Kitab, sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah: 2:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
Arti Alquran secara terminology ditemukan dalam beberapa rumusan defenisi sebagai berikut:
1.      Menurut Syaltut, Alquran adalah; lafaz  Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kapada (jalan) yang lebih lurus.
2.      Al-Syakauni mengartikan Alquran dengan; Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir.
3.      Dafenisi Alquran yang dikemukakan Abu Zahrah ialah; Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
4.      Menurut al-Sarkhisi, Alquran adalah; Kitab yang diturunkan kapada Nabi Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh masyhur dan dinukilkan secara mutawatir.
5.      Al-Amidi memberi defenisi Alquran; Al-kitab adalah Alquran yang diturunkan.
6.      Ibn Subki mendefenisikan Alquran; lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., mengandung mukzijat setiap suratnya, yang beribadah membacanya.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi Alquran, yaitu; lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang dinukilkan secara mutawatir.
B.  Penjelasan al-Qur’an Terhadap Hukum
Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran (3): 7, yaitu secara muhkam dan mutasyabih.

uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.”
1.      Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2.      Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Adanya beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan dua hal:
a.       Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama. Umpamanya kata quru’ dalam firman Allah pada surat al-Baqarah: 228 yang berarti suci atau haid.[4] Kata ‘uqdat al-nikah dalam firman Allah pada surat al-Baqarah: 237 mengandung arti wali atau istri.
b.      Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah AWT, padahal Allah SWT tidak sama dengan makhluk-Nya.
Ulama yang menolak bentuk ungkapan yang mengandung arti penyamaan Tuhan dengan manusia, berusaha menta’wilkan atau mengalihkan arti lahir dari ayat mutasyabihat tersebut kepada arti lain, seperti kata “Wajah Allah” diartikan “Dzat Allah” dan “Allah bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1.      Secara Juz’i  (terperinci). Maksudnya, al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan Sunnahnya.
2.      Secara Kulli’ (global). Maksudnya, penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelaan trerhadap maksud ayat yang terbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain. Di samping itu ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan memberikan kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
3.      Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah: 233
4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”
Ayat tersebut, mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakain bagi isterinya. Tetapi dibalik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemungkinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya”.
Ayat al-Qur’an dalam bentuk muhkam dengan penjelasan yang lengkap, penunjukannya terhadap hukum adalah pasti (qath’i dilalah). Dalam ayat itu tidak mungkin ada maksud lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda. Hukum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku secara universal dan tidak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya sudah berubah.
Ayat al-Qur’an yang disampaikan secara mutasyabih, dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukkan terhadap hukum bersifat zhanni (tidak meyakinkan); karenanya dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan pemahaman. Perbedaan pemahaman itu akan menghasilkan versi hukum yang berbeda-beda.
Ayat al-Qur’an yang penjelasannya bersifat zhani ini umumnya berlaku dalam bidang mu’amalah dalam arti luas yang mengatur hubungan menusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat itu senantiasa berkembang, maka penerapan hukumnya pun akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku ungkapan: “Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan waktu dan tempat”. Juga berlakunya reformulasi hukum bila keadaan menghendaki.[5]

C.  Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah:
4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ 
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ  
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkansuatu ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, sepertisurat an-Nahl: 89, Ibrahim:1 dan Shad: 1
Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).
Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al- Purqan:1)[6]
D.  Hukum Yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan defenisi hukum syara’ sebagimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang ahrus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dala kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam benyuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.[7]
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1.      Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.
2.      Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum mu’amalah dalam arti umum.[8]










BAB III

P E N U T U P
A.  Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushhaf, dan dinukilkan secara mutawatir serta dihukum ibadah bagi siapa yang membacanya.
Sedangkan fungsi al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan mereka, khususnya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya.
Sebagai sumber hukum, dalam menjelaskannya, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’i (terperinci).
2. Secara kulli (global).
3. Secara Isyarah.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
1. Hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
2. Hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
3. Hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
B.  Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak  yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.





















DAFATAR PUSTAKA

Amir syarifuddin, ushul fiqh 1,-- Ed.1.—Cet. 4. PT kencana, Jakarta: 2008.
Amir syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta:2000.
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997.
Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Bima Sejati. Semarang:2006.
Satria Efendi, M. Zein, M.A, Ushul fiqh, Kencana Media Group, Jakarta: 2009.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih,Pustaka Rizki Putra, 1999.


[1] Prof. Dr. H. Satria Efendi, M. Zein, M.A, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana Media Group, 2009), Hal. 79.
[2] Amir syarifuddin, ushul fiqh 1,-- Ed.1.—Cet. 4. Jakarta: PT kencana, 2008. h. 43.
[3] Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 20.
[4] Ibid.. Hal.93-94.
[5] Prof. DR. H. Amir syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hal. 68-70.
[6] H. Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits,Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
[7] Ibid, hlm. 23-24.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih,Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Akhlak tasawuf sebagai suatu ilmu yang sangat berguna dalam rangka membentuk manusia-manusia yang humanis dengan moral yang luhur memerlukan metode dalam pembinaannya, sebagian metode pembinaan akhlak memang sudah bisa ditangkap pada uraian-uraian sebelum ini, dan pada hakikatnya ajaran yang disampaikan itu sama, hanya mungkin berbeda nama dan istilah saja sebagai bungkusnya. Tetapi walaupun demikian hal itu bisa dinamakan modern  kalau boleh dibilang demikian  paling tidak dari segi waktu atau zaman.
Bersuci dalam agama islam tidak hanya meliputi jasmani tetapi juga rohani.  Mensucikan hati dari segala macam kotoran hati disebut Tazkiah.  Seseorang dikaruniai hati yang bersih dan suci saat dilahirkan ke dunia. Karena bebarapa faktor dan pengaruh membuat hati seseorang menjadi kotor, seperti; pergaulan, dan lingkungan sekitar. Selain itu bahwasannya setan selalu hadir dan membisikan keburukan pada hati manusia seperti, iri, dengki, hasud, fitnah, kufur, tamak, dll. Oleh sebab itulah kita di wajibkan bertaubat kepada allah dengan berbagai macam cara, antara lain; Dengan proses takhalli, Kedua, dengan melakukan proses tahalli.  Selain dengan proses pembersihan dari segala macam kotoran hati, alangkah lebih baiknya di imbang  dengan menanamkan sifat-sifat terpuji ke dalam hati kita agar dapat terbentu pribadi yang berakhlakul karimah.
Tazkiyyatun Nafs termasuk hal terpenting yang dibawa oleh para Rasul as.  Hal ini sebagaimana yang ALLAH ingatkan dalam firman-Nya berikut ini:Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2] : 129).
Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim sudah sepatutnya meniru apa yang di ajarkan oleh baginda nabi besar Muhammad saw agar hidup kita menjadi lebih baik di dunia maupun di akhirat.

B.  Rumusan Masalah
A.    Pengertian Tazkiyah al-nafs?
B.     Jenis Penyucian Diri?
C.     Sarana Penyucian Diri?
D.    Metode Penyucian Diri?

C.  Tujuan Masalah
A.    Untuk mengetahui pengertian Tazkiyah nafs atau Penyucian diri.
B.     Untuk memahami jenis penyucian diri secara lahiriyah dan batiniyah.
C.     Untuk mengetahui sarana penyucian diri.
D.    Untuk mengetahui metode penyucian diri.

D.  Metode Penulisan
Kami membaca bahan-bahan berupa buku-buku, karya tulis, dan penelusuran melalui internet sesuai dengan materi-materi yang terkait  yang akan kami sajikan pada makalah ini.

                                                                                             




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian dan Tujuan Tazkiyah al-Nafs
1.      Pengertian
            Secara etimologisTazkiyatun nafs berasal dari dua buah kata yaitu Tazkiyatun dan An-nafs.Tazkiyah berasal dari akar kata (Zakaa Yazku-Zakaa & Zakatan) yang berarti Nama (baca; Tumbuh) dan Zada (baca;Bertambah). Zakaa juga bisa berarti Solaha (baca;baik)dan ia juga berarti Barokah (baca;banyak kebaikannya), disamping itu juga berarti Thaharoh / Suci bersihSedang bentuk kata Tazkiyah dari kata Zaka yang diberi tambahan huruf kaf, sehingga menjadi Zakka-Yuzakki-Tazkiyatan yang berarti menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, membersihkan, mensucikan dan menjadikannya jadi baik serta bertambah baik.
            Sedangkan menurut istilah, beberapulama berpendapat :Menurut Abul Qasim Husain bin Muhammad, beliau lebih populer dikenal dengan Ragib Al-isfahani (wafat 502 H), beliau mengatakan bahwa Tazkiyatun Nafs adalah upaya manusia untuk mensucikan jiwa dan dirinya, sehingga ia mempunyai sifat terpuji pada dirinya di dunia tentunya dan kelak di akhirat mendapatkan pahala dan balasan yang besar.  Syeikh Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa Taziyatun nafs adalah salah satu tugas utama para rasul, ia merupakan tujuan yang dicapai oleh orang-orang bertaqwa.[1] Dan selamat atau celakanya manusia tergantung sikapnya terhadap Tazkiyatun nafs, apakah ia concern terhadap permasalahan yang satu ini, atau acuh tak acuh dengan hal ini Karena Tazkiyatun Nafs adalah proses pembersihan jiwa dari akhbas (baca;kotoran )serta memperbaiki jiwa, maka tazkiyatun nafs dapat dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah, perbuatan baik dan berbagai amalan shalih serta langkah-langkah mujahadah. Apabila semuanya itu dilakukan, maka akan menjadi bersih yang selanjutnya mempuyai pengaruh, dampak positif hasilnya pada prilaku, tingkah laku dan perkataan, pengaruh itu akan membekas pada lidah, mata, telinga dan anggota tubuh lainnya.  Buahnya yang paling nyata adalah perlakuanya yang baik terhadap Allah dan terhadap manusia juga makhluk lain serta makluk di muka bumi ini. Adabnya kepada Allah berupa komitmen melakukan seluruh kewajibannya kepada Allah dan menjahui segala bentuk prilaku dan perbuatan yang menyebabkan murka Allah, termasuk mengorbankan harta, jiwa dan raganya berjihad dijalan Allah.(Al-Mustakhlas fii Tazkiyatul Anfus, hal. 5-6)
            Jadi Tazkiyatun nafs pada hakikatnya adalah proses pembersihan jiwa dan hati dari berbagai dosa dan sifat-sifat tercela yang mengotorinya, dan selanjutnya peningkatan kwalitas jiwa dan hati tersebut dengan mengembangkan sifat-sifat terpuji yang diridhai Allah Swt, serta potensi-potensi positifnya dengan mujahadah, ibadah dan berbagai perbuatan baik lainnya, sehingga hati dan jiwa menjadi bersih dan baik serta berkwalitas. Yang selanjutnya menjadikannya mempuyai sifat-sifat dan prilaku yang baik dan terpuji.[2]
2.      Tujuan
Tujuan Tazkiyatun Nafs adalah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, takwa hanya dapat terwujud melalui pembersihan serta penyucian jiwa. Sementara, kebersihan jiwa juga tidak dapat terjadi tanpa takwa. Jadi keduanya saling terkait dan saling membutuhkan. Itulah mengapa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  


“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams/91 : 7-10)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa seseorang dapat membersihkan jiwanya melalui ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
( Ÿxsù (#þq.tè? öNä3|¡àÿRr& ( uqèd ÞOn=÷ær& Ç`yJÎ/ #s+¨?$# ÇÌËÈ  
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.Allah lebih mengetahui tentang siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm/53: 32)
Serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَسَيُجَنَّبُهَا اْلأَتْقَى . الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
“Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya.” (QS. Al-Lail 92: 17-18).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan kepada Allah.Dan memang tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah.
Di sini perlu juga difahami dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. رواه مسلم
“Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang membersihkan jiwa. Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya. HR. Muslim.
Dengan qalbu serta jiwa yang bersih dan bertakwa, akan tercapailah maksud diciptakannya manusia. Yaitu hanya beribadah dan menyembah kepada Allah saja.
Allah berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu saja.” (QS. Adz-Dzaariyaat/51 : 56)[3]
Tujuan tazkiyatun nafs tidak lepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yakni untuk mendapatkan kebahagiaan jasmani maupun rohani, material maupun spiritual, dan duniawi maupun ukhrawi. Kesempurnaan itu akan diperoleh manusia jika berbagai sarana yang menuju ke arah itu dapat dipenuhi. berbagai hambatan yang menghalangi tujuan kesempurnaan jiwa itu harus disingkirkan.
Adapun yang menghalangi kesempurnaan jiwa itu adalah kotoran atau noda yang ditorehkan oleh sifat-sifat jelek yang melekat pada jiwa manusia.  Tujuan khusus tazkiyatun nafs dijabarkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din.
a.       Pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci jiwanya, luas ilmunya, dan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah.
b.      Membentuk manusia yang berjiwa suci dan beakhlak mulia dalam pergaulan dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajiban, tugas seta tanggung jawabnya.
c.       Membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan terbebasnya jiwa dari perilaku tercela yang membahayakan jiwa itu sendiri.
d.      Memebentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia, baik terhadap Allah, diri sendiri maupun manusia sekitarnya.[3]

B.  Jenis Penyucian Diri
Dua jenis penyucian: Pertama lahir, ditentukan oleh peraturan agama dan dilakukan dengan membasuh tubuh badan dengan air yang bersih. Keduanya ialah penyucian batin, diperolehi dengan menyedari kekotoran di dalam diri, menyedari dosanya dan bertaubat dengan ikhlas. Penyucian batin memerlukan perjalanan kerohanian dan dibimbing oleh guru kerohanian.
Menurut hukum dan peraturan agama, seseorang menjadi tidak suci dan wudu menjadi batal jika keluar sesuatu dari rongga badan. Ini perlu diperbaharui dengan wudu. Dalam hal keluar mani dan darah haid mandi wajib diperlukan. Dalam hal lain, bahagian tubuh yang terdedah - tangan, lengan, muka dan kaki - mesti dibasuh. Mengenai pembaharuan wuduk Nabi s.a.w bersabda, "Pada setiap pembaharuan wuduk Allah perbaharui kepercayaan hamba-Nya yang cahaya iman digilap dan memancar dengan lebih bercahaya". Dan, "Mengulangi bersuci dengan wuduk adalah cahaya di atas cahaya".
Kesucian batin juga boleh hilang, mungkin lebih kerap daripada kesucian lahir, dengan sifat buruk, buruk perangai, perbuatan dan sifat yang merosakkan seperti sombong, takabur, menipu, mengumpat, fitnah, dengki dan marah. Perbuatan secara sedar dan tidak sedar memberi kesan kepada roh: mulut yang memakan makanan haram, bibir yang berdusta, telinga yang mendengar umpatan dan fitnah, tangan yang memukul, kaki yang membawa kepada kejahatan. Zina, yang juga satu dosa, bukan sahaja dilakukan di atas katil. Nabi s.a.w bersabda, "Mata juga berzina".
Bila kesucian batin ditanamkan demikian dan wudu kerohanian batal, membaharui wuduk demikian adalah dengan taubat yang ikhlas, yang dilakukan dengan menyedari kesalahan sendiri, dengan penyesalan yang mendalam disertai oleh tangisan (yang menjadi air yang membasuh kekotoran jiwa), dengan berazam tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, berhasrat meninggalkan semua kesalahan, dengan memohon keampunan Allah, dan dengan berdoa agar Dia mencegahnya daripada melakukan dosa lagi.
Sembahyang adalah menghadap Tuhan. Berwudu, berada di dalam keadaan suci, menjadi syarat untuk bersembahyang. Orang arif tahu penyucian zahir sahaja tidak memadai, kerana Allah melihat jauh ke dalam lubuk hati, yang perlu diberi wuduk dengan cara bertaubat. Firman Allah:  "Inilah apa yang dijanjikan untuk kamu, untuk tiap-tiap orang yang bertaubat, yang menjaga (batas-batas)". (Surah Qaaf, ayat 32)
Penyucian tubuh dan wudu lahir terikat dengan masa kerana tidur membatalkan wuduk. Penyucian ini terikat dengan siang dan malam bagi kehidupan di dalam dunia. Penyucian alam batin, wuduk bagi diri yang tidak kelihatan, tidak ditentukan oleh masa. Ia untuk seluruh kehidupan - bukan sahaja kehidupan sementara di dunia tetapi juga kehidupan abadi di akhirat.[4]
C.  Sarana Tazkiyyah
            Yang dimaksud dengan sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit, membebaskannya dari “tawanan”, atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal ini bisa terhimpun dalam suatu amal perbuatan.
     Dalam sarana tazkiyah, ada berbagai amal perbuatan yang memberikan dampak pada jiwa ini sehingga dengan perbuatan tersebut jiwa terbebas dari penyakit atau mencapai maqam keimanan atau akhlak Islami.



Ada beberapa sarana dalam tazkiyah yaitu:
a)      Shalat
Shalat adalah satu sarana tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ‘ubudiyah dan rasa syukur. Dengan demikian, ia adalah sarana itu sendiri. Jadi, ia adalah cara sekaligus sarana. Shalat yang dilakukan secara sempurna merupakan manusia bahwa jiwa dan hati tersucikan. Jadi, penuaiannya secara sempurna dan baik merupakan sarana, tujuan dan dampak. Demikian pula masalah-masalah lainnya yang berkenaan dengan pembahasan ini. Penuaian shalat, misalnya, dapat membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah Tuhan alam semesta, dan pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul pada jiwa dengan memberikan dorongan untuk meninggalkan pebuatan keji dan mungkar.
Sebelum kita memasuki bab ini perlu kami berikan beberapa penjelasan berikut ini: Fitrah manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma’nawi yaitu suatu kotoran yang diartikan dari hakekatnya seperti kemusyrikan, seperti dalam al-Qur’an menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”, terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, seperti dalam al-Qur’an yang artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”, atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang yang tidak cocok untuk manusia, “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah, seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakekat sebagaimana mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyat al-nafs maka yang dimaksud adalah pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangan yang nista, penentangan terhadap rubbubiyah dan berbagai kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan misi seperti ini.
Antara manusia dan binatang ada unsur-unsur kesamaan yang diperlukan kehidupan manusia, namun hal seperti ini tidak menjadi pembahasan kami. Berbagai macam syahwat yang dibenarkan terkait dengan berbagai kemaslahatan yang dibenarkan pula, hal ini juga tidak menjadi pembahasan kajian kami. Allah telah menjadikan pada manusia kesiapan untuk berakhlak dengan berbagai kesempurnaan, seperti santun dan kasih sayang, dan menjadikan untuknya beberapa sifat seperti mendengar dan melihat. Berbagai kesempurnaan yang bisa menjadi sifat manusia ini, yang merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, tidak termasuk didalamnya apa yang kami maksud.
Berbagai taklif Ilahi tercurahkan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat, sementara itu tidak ada kemaslahatan bagi individu dan masyarakat kecuali dengan menyucikan jiwa individu. Oleh karena itu diantara taklif Ilahi yang terpenting adalah apa yang bisa membersihkan jiwa.
Titik awal dan akhir dalam taklif Ilahi adalah tauhid yang membersihkan dari berbagai karat kemusyrikan dan berbagai akibatnya seperti ‘ujub, ghurur, dengki dan lain sebagainya. Sesuai dengan sejauh mana tauhid itu tertanam dalam jiwa sejauh itu pula jiwa akan tersucikan dan memetik berbagai buah tauhid seperti sabar, syukur, ‘ubudiyah, tawakal, ridha, takut, harap, ikhlas, jujur, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, kami menjadikan sarana pertama dalan tazkiyah adalah shalat. Shalat berikut sujud, ruku’ dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah dan mengingatkan jiwa agar istiqamah diatas perintahNya:
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”, Jadi shalat merupakan salah satu sarana tazkiyah.


b)      Zakat dan Infaq
Zakat dan infaq bisa membersihkan jiwa dari bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah. Oleh sebab itu, kedua ibadah ini termasuk dalam bagian dari tazkiyah, “Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”.
c)      Puasa
Puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat dan kemaluan, sehingga dengan demikian ia termasuk sarana tazkiyah, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tujuan dari puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar dari mulai terbit fajar hingga matahari tenggelam, namun lebih dari itu, yaitu melatih kesabaran dan mengekang hawa nafsu dari keinginan-keinginan nafsu duniawi. Sehingga dengan bepuasa setiap hamba dapat mendekatkan diri pada Allah SWT dengan khusyu’ tanpa terbebani keinginan-keinginan duniawi.
d)     Dzikir dan Pikir
Membaca Al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa kepada berbagai kesempurnaan, karenanya ia merupakan salah satu jenis dzikir dan merupakan sarana tazkiyah, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Berbagai dzikir yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Dengan demikian jiwa bisa mencapai derajat tazkiyah yang tertinggi, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Dzikir dan pikir adalah dua sejoli yang dapat membukakan hati manusia untuk menerima ayat-ayat Allah, oleh karena itu tafakkur termasuk sarana tazkiyah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat manusia-manusia bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun, Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Munculnya nilai-nilai dalam hati tidak lain adalah melalui perpaduan antara dzikir dan pikir.
e)      Mengingat Kematian
Kadang jiwa manusia ingin menjauh dari pintu Allah, bersikap sombong, sewenang-wenang atau lalai, maka mengingat kematian akan dapat mengendalikannya lagi kepada ‘ubudiyah-Nya dan menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”. Oleh karena itu, mengingat kematian merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?” 
Muhasabah harian terhadap jiwa dan muraqabullah juga dapat mempercepat taubat dan memperkuat laju peningkatan (taraqqi), karenanya muhasabah merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”. Jiwa terkadang tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian, maksiat atau syahwat sehingga harus dilakukan mujahaddah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.
f)       Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari keburukan sebagaimana larangan darinya. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, bahkan orang-orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran berhak mendapat laknat Kotoran jiwa apakah yang lebih besar dari laknat? “Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka selalu perbuat itu”.
Kaitkanlah antara firmanNya, “Sesungguhnya telah berbahagia orang yang mensucikannya”, dan firmanNya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Perhatikanlah kalimat “orang-orang yang beruntung” niscaya manusia mengetahui bahwa amar ma’ruf, nahi munkar dan ajakan kepada kebaikan merupakan salah satu sarana tazkiyah. Jika amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, maka demikian pula jihad karena ia merupakan bentuk pengukuhan kebaikan dan pengikisan kemungkaran. Oleh karena itu, mati syahid di jalan Allah adalah penghapus dosa. Orang yang berjihad di jalan Allah terbebas secara langsung dari rasa takut dan kikir karena ia menerjang kematian dengan niat menjual dirinya kepada Allah, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh”. Tidak dapat melakukan hal tersebut secara sempurna dan baik kecuali orang-orang yang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dengan firmanNya, "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. Jadi jihad adalah salah satu sarana tazkiyah, bahkan merupakan sarana paling tinggi dan tidak dapat melakukannya pada ghalibnya kecuali orang yang tersucikan jiwanya.
Itulah berbagai induk sarana tazkiyah secara umum, disamping ada beberapa macam tazkiyah khusus bagi beberapa penyakit khusus. Semakin sempurna sarana ini direalisasikan semakin sempurna pula hasil-hasilnya, dan sebaliknya.
Nilai-nilai bathiniyah dalam hal shalat, zakat, puasa dan tilawah Al-Qur’an telah dilupakan oleh banyak orang, padahal berbagai ibadah utama dalam islam akan dapat menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai bathiniahnya tersebut diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang sempurna apabila ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai dengan amal-amal bathiniah, seperti shalat disertai khusu’, zakat disertai dengan niat yang baik, tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabur yang baik dan dzikir yang menghadirkan hati (hudhur). Bentuk penunaian ini merupakan penerang dan pensuci bagi kesempurnaan. Karena aspek spiritual dari hal-hal ini telah terjangkiti oleh penyakit wahan dan kekurangan di kalangan para penempuh jalan menuju Allah, maka hal tersebut menjadi fokus pilihan kami karena hal-hal yang bersifat lahiriyah biasanya tidak terlupakan di kalangan orang-orang yang hidup di lingkungan islam.[5]           
D.  Metode Penyucian al-Nafs dan Penyuciannya.
1.      Metode Mujahadat.
Istilah mujahadat berasal dari kata “jahada”, satu rumpun dengan “ijtahada”, yang berarti berusaha keras, atau penuh kesungguhan hati dan perilaku dengan penuh ketekunan. menurut Al-Ghazali, mujahadat berada dibawah norma-norma syariat dan akal. Sebagai contoh untuk mujahadat ini misalnya seseorang yang terbiasa ghibah, maka mulutnya seolah-olah gatal bila tidak melakukannya.Mujahadat yang dilakukan disini adalah dengan menahan dengan sekuat hati untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain. Apalagi membicarakan orang lain itu dalam syariat dilarang, dan menurut akal itu juga tidak baik. Bahkan, logis kalau dibukakan aibnya di depan orang lain.
2.      Metode Riyadhat.
Adapun riyadhat disini adalah pembebanan diri dengan membiasakan melatih suatu perbuatan yang pada fase awal yang merupakan beban yang sangat berat dan pada fase akhir menjadi sebuah karakter menjadi sebuah karakter atau kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan itu menjadi tertanam kuat. Sebagai contoh dari riyadhat ini, misalnya seseorang yang telah terbiasa dengan sifat kikir, dapat menghilangkan sifat kikir itu dengan melatih diri untuk menyumbang kepentingan sarana-sarana ibadah, sarana umum, dan fasilitas sosial lainnya. Pada mulanya dia akan merasa berat mengeluarkan atau menginfakkan harat itu, karena memang sudah terbiasa denagtn kekikirannya, tetapi setelah dilatih atau dibiasakan, sedikit demi sedikit ia akan menjadi seorang pemurah atau dermawan.
Dapat dipahami bahwa mujahadat dan riyadhat merupakan metode tazkyatun nafs dalam upaya meningkatkan akhlak. Dalam upaya menyucikan jiwa dan membuatnya bersinar, keduanya saling bergandengan. misalnya ketika seorang terbiasa dengan bohong, mujahadat yang dilakukan adalah berjuang secara sungguh-sungguh untuk meninggalkan sifat bohong, sedangkan riyadhat yang dilakukan adalah selalu berkata benar disertai kejujuran.[6]























BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Tazkiyatun Nafs merupakan hal yang penting yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sudah sepatutnya kita teladani dan kita amalkanTazkiyatun nafs pada hakikatnya adalah proses pembersihan jiwa dan hati dari berbagai dosa dan sifat-sifat tercela yang mengotorinya dengan melakukan mamalan-amalan yang positif.
Selanjutnya peningkatan kwalitas jiwa dan hati tersebut dengan mengembangkan sifat-sifat terpuji yang diridhai Allah Swt, serta potensi-potensi positifnya dengan mujahadah, ibadah dan berbagai perbuatan baik lainnya, sehingga hati dan jiwa menjadi bersih dan baik serta berkwalitas. Yang selanjutnya bermanfaat baik untuk kehidupan setiap manusia, seperti, Iman bertambah kuat, bagus, dan kokoh. Tahan atas godaan syetan untuk menegakkan kebatilan dan Tumbuh semangat beramal shaleh di tengah masyarakat menjadikannya mempuyai sifat-sifat dan prilaku yang baik dan terpuji. Senua hal dalam tazkiah al-nafs akan.
B.  Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak  yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
Abudin Nata, MA, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1996.
Al-Hambali, Ibnu Rajab, dkk. 2001. Tazkiyatun Nafs. Solo: Pustaka Arafah.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,   jakarta: Balai Pustaka, 1995
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II Jakarta: UI Press, 1979.
M Solihin. 2003. Tasawuf Tematik. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sumber website:


[1] Dr. Solihin, M.Ag, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003)Hlm. 125-135.,
[2] Dr. H. Abudin Nata, MA, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1996. Hal. 163.
[3] Dr. Solihin, M.Ag, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003)Hlm. 125-135.
[4] Jaelani, A.F. 1997. Penyucian Jiwa (Tazkiyatun Al-Qur’an- nafs). Jakarta: Amzah.
[6] Ibid,. hlm. 190-191.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Lahirnya pengetahuan tentang teori Munasabah (korelasi) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adlah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan Bara’ah/At-Taubah [9] yang dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakr Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat yang ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah [2], kemudian An-Nisaa’ [4], lalu surat Ali ‘Imron [3].

B.  Rumusan Masalah
A.    Pengertian Munasabah?
B.     Sebutkan Macam-macam Munasabah?
C.     Jelaskan bagaimana urgensi dan kegunaan munasabah?



C.  Tujuan
A.    Agar mahasiswa dapat untuk mengetahui mengenai munasabah.
B.     Untuk mengetahui macam-macam munasabah.
C.     Untuk mengetahui urgensi dan kegunaan munasabah.

D.  Metode Penulisan



























BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Munasabah
Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya kedekatan dan keserupaan.[1] Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut : Fulan Yunasib Fulan, berarti si Fulan mempunyai hubungan dekat dengan si fulan itu dan menyerupainya. Dan dari kata itu lahir pula kata an-Nasib, berarti kerabat yang mempunyai hubungan dekat seperti dua orang bersaudara. Istilah munasabah digunakan dalam ‘iIlat hukum dalam bab Qiyas yang berarti Al-Wasf Al-Muqarib Li Al-Hukm (gambaran/sifat yang berdekatan atau berhubungan dengan hukum.

Secara terminologi, pengertian Munasabah dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1.          Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى  الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
2.          Menurut Ibn Al-Arabi :

إرتـبــاط أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”
3.          Menurut Manna’ Khalil Qattan :

وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
 Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.

4.          Menurut Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.[2]
            Sebagai kesimpulannya, munasabah adalah pengetahuan tentang berbagai hubungan unsur-unsur dalam Al-Qur’an, seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah pada suatu ayat; ayat dengan ayat pada suatu surah; surah dengan surah pada sekumpulan surah; surah dengan surah; termasuk hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah; antara fawtih Al-suwar dengan isi surah; fashilah (pemisah) dengan isi ayat; dan fawatih Al-suwar dengan khawatim Al-suwar.[3]
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.

Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an[4] walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya (Peny.)
Ilmu Munasabah ini dapat berperan mengganti ilmu Asbabun Nuzul, apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tapi seseorang dapat mengetahui relevansi / hubungan ayat itu dengan ayat lainnya. Ada  beberapa pendapat    di kalangan ulama   tenteng ilmu Tanasubul Ayat Was-Suwar ini. Diantanranya ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya atau hubungannya dengan ayat atau surat lain. Sementara ulama yang lain berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain.[5] Hal yang    demikian ini tidak berarti bahw seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Qur’anul Karim turun secar bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri, sebab jika memaksakannya juga akan menghasilkan kesesuaian yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai,  pernyataan ini  senada  dengan  pendapat Syaikh ‘Izz Ibn Abdus-Salam.[6]

B.   MACAM-MACAM MUNASABAH

Dalam pembagian munasabah inipara ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokkan munasabah dan jumlahnyahal ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat, dari segi berbeda. Menurut Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik dalam ‘Ulum Al-Qur’an (Jakarta : Diadit Media, 2007), munasabah dapat dilihat dari dua segi, antara lain :[7]

1.      Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.  Zhahir Al-irtibath yaitu (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama.[8]
2.   الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat lain, sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di’Athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[9]
2.      Dilihat dari segi materinya[10]yaitu :
1.      Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat, meliputi, pertama diathafkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, kedua tidak di’athafkan, ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi, kelima Dipindahkannya satu pembicaraan kepembicaraan yang lain.
2.      Munasabah antar surat, yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain. Meliputi : pertama kesamaan materi pada dua surat yang berbeda namun salah satu darinya bersifat umum dan satunya khusus dan terperinci, kedua persesuaian permulaan surat dengan penutup surat sebelumya, ketiga  persesuaian pembukaan surat dan akhir ayat suatu surat.

Dalam pembahasan ini juga Manna’ Khalil Qattan bependapat bahwa apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteknya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. Menurutnya munasabah terbagi kedalam tiga kategori, yaitu:
  1. Munasabah terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Ghasyiyah ayat17 – 20,
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ  
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bmi bagaimana ia dihamparkan”.(QS. Al-Ghasyiyah :17 – 20)
Penggabungan Unta, Langit, Gunung-gunung dan bumi berkaitan erat dengan adat dan kebiasaan hidup yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namaun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan diminum unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun, dan inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian mereka juga membutuhkan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik dari pada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun ke daerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
  1. Munasabah antara saatu surat dengan surat yang lain, misalnya pembukaan surat Al-Hadid yang diawali dengan ­Tasbih :
 yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ  

Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (Al-Hadid [57] : 1)


Pembukaan surat ini sesuai dengan akhir surat sebelumnya – Al-Waqi’ah- yang memerintahkan bertasbih :
ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ  
Maka bertasbihlah dengan menyebut Nama Tuhammu yang Mahabesar”. (Al-Waqi’ah [56]: 96)
Demikian juga hubungan antara surat Quraisy dengan surat Al-Fiil. Ini karena kebinasaan tentara gajah, mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat tersebut termasuk hubungan sebab akibat, seperti dalam firman Allah SWT : “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga fir’aun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka”.(QS. Al-Qashash [28] :

  1. Munasabah  antara awal surat dengan akhir surat. Misalnya, apa yang terdapat dalam surat Al-Qashash [28]. Surat ini dimulai dengan menceritakan nabi Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Kemudian Musa berdo’a ” Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”.[11] Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Nabi Muhammad SAW, bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah, serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir.[12]
C.  URGENSI DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI MUNASABAH
Sebagaimana Asbabun Nuzul, Munasabah dapat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad Abdullah Darraz berkata : ”Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan permasalahannya”.[13]




Maka, dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.[14]
2.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.(Abdul Djalal, H.A, 1998: 165).[15]
3.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.[16]
4.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )-peny-. serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.[17]

Selain kaguanaan mempelajari munasabah dianggap penting, maka seseorang yang ingin menemukan korelasi/hubungan antar ayat atau antar surat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan rasio, agar terhindar dari kesalahan penafsiran (Muhammad Chirzin, 1998 : 58). Serta membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan membantu menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.



BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan
Pembagian munasabah:
A. Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.   ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang  tampak jelas,
2.   الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya
B. Dilihat dari segi materinya, yaitu :
1.     Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu  dengan ayat yang lain
2.     Munasabah antar surat, yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain.
Dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya
2.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya
3.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya
4.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )- serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri

B.  Saran
























DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (terj. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an oleh Drs. Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009).
Chalik, Drs. H.A. Chaerudji Abd., ‘Ulum Al-qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007.
Anwar, Dr. Rosihan, Ulum Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2008, cet. I.
Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011


[1] Dr. Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008)hal. 82. mengutip dari jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid I, hal. 108.
[2] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 84.
[3] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 123.
[4] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 83.
[5] Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 110.
[6] Nama lengkapnya ialah Abdul ‘Aziz bin Abdus-Salam, terkenal dengan nama Al-’Izz, seorang ulama, mujahid dan ahli Wara’  wafat 660 H. dikutip dari Manna’ Khalil Qattan, Op it, hal. 139.
[7] Acep Hermawan, Op Cit, hal. 125. Mengutip dari Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 110.
[8] Cermati surat Al-Isra’ ayat 1 dan 2, munasabah dalam kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu kedua-duanya Nabi Muhammad dan Nabi musa diangkat oleh Allah SWT sebagai nabi dan Rasul, dan keduanya diIsra’kan. Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedang Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.
[9] Lihat surat Al-Baqarah ayat 189 dan 190. munasabahnya ialah ketika waktu haji umat islam dilarang perang, tetapi jika umat islam diserang lebih dulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walupun pada musim haji.
[10] Lihat penjelasannya dalam buku Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Op Cit, hal 114.
[11] Baca Surat Al-Qashash [28] ayat 17.
[12] Baca juga surat Al-Qashash [28] ayat 85-86.
[13] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 96. mengutip dari Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’  Al-’Adzim, (Mesir : Dar Al-’Urubah, 1974), hal. 159.
[14] Ibid.
[15] Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Op Cit, hal. 122.
[16] Ibid.
[17] Op Cit, hal. 123.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Sebuah perjalanan yang harus dihadapi, meskipun bijak tapi sama saja munafiq nya. semua tak akan pernah berhenti, Berjuang dan berjuang.... Mimpi Besarrr ku...